Sabtu, 09 Juli 2011

ULUMUL HADITS

A.    Pengertian Hadits
Hadits
Hadits merupakan jamak dari kata hudtsan, hidtsan dan ahadits. Jamak ahadits-jamak yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad-inilah yang dipakai jamak hadits yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul dikatakan ahadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang lainnya.
Menurut bahasa kata hadits memiliki banyak arti yaitu ;
1)      al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2)      Qorib (yang dekat)
3)      Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Ada juga yang berpendapat ahadits  bukanlah jamak dari hadits, melainkan merupakan isim jamaknya. Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian.
 Sunnah
Sunah menurut bahasa adalah perjalanan (jalan yang ditempuh), baik terpuji atau tidak. Jamaknya adalah sunan.
Sunah menurut istilah Muhadditsin adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya.
Sunah menurut istilah ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi-selain al Qur’an- baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.
Sunah menurut istilah Fuqoha adalah sesuatu yang diterima dari Nabi Muhammad saw, yang bukan  fardlu ataupun wajib. Sunnah adalah sumber Hukum Islam ( Pedoman Hidup Kaum Muslimin ) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman kepada Al-Qur’an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah sebagai sumber Islam juga. Dalil yang menunjukan wajibnya kita mengambil Assunnah sebagai sumber hukum islam juga disamping Alqur’an adalah sebagai berikut :
Ayat-ayat Al-Qur’an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, seperti berikut :
1)      Setiap mu’min harus taat kepada Rasul-nya, selain taat kepada Allah SWT.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatilah rasul-Nya“ ( Annisa, 4:59) juga ada di surat al-Anfal : 20, Muhammad :33, an-Nisa :59, Ali-Imran :32, al-Mujadalah : 13, an-Nur : 54, al-Maidah : 92 .
2)      Bila mengikutinya, kita akan dicintai Allah dan mendapat ampunan-Nya.
“Katakanlah (wahai Muhammad) : “jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. (Ali Imron : 31).
3)      Ajakan rasul membawa kehidupan (kehidupan yang benar) dan harus menjadi teladan hidup. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan rasul apabila rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu..” (al-anfal:24)
Sayyid Qutb berkata, “Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal : cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji, dan lain sebagainya. Apalagi membahas hal yang lebih besar, seperti kemasyarakatan, politik, hukum, ekonomi dan perbagai aspek kehidupan global lainnya. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasullullah.“
Dalil-dalil dari Rasulullah SAW
Diriwayatkan oleh Abu Hurairoh RA. yg berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Semua ummatku masuk surga kecuali orang-orang yang tidak mau. Kemudian ada salah seorang sahabat bertanya, siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah“. Beliau SAW menjawab “Barangsiap yang mentaatiku, maka dia akan masuk surga dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka dia telah enggan (tidak mau masuk surga)”.         HR Bukhori.
Hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Al-Ardabdh Bin Sariyah R.A. yang berkata “Rasullullah menasehati kami dengan nasehat yang menggentarkan hati dan membuat air mata menetes, Maka kami berkata, „Wahai rasulullah, sepertinya nasehatnya nasihat yang terakhir. Maka berikanlah wasiat kepada kami“. Rasullullah bersabda : „aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan mentaati sekalipun kalian dipimpin oleh seorang budak. Sesungguhnya barangsiapa diantara kamu yang diberi umur panjang, maka dia akan melihat berbagai macam perselisihan, oleh sebab itu, pegang eratlah sunnahku dan sunnah para khulafa’ur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah erat ia dengan gigi gerahammu. Jauhilah masalah-masalah bid’ah karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat“. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Hibban dalam shahihnya. Tirmidzi mengatakan „ini merupakan hadits hasan shohih“.
Pengertian khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Khabar menurut Muhadditsin adalah warta dari Nabi, Shahabat, dan Tabi’in. oleh karena itu, hadits marfu’, maukuf, dan maktu’ bisa dikatakan sebagai khabar. Dan menurutnya khabar murodif  dengan hadits.
Sebagian ulama berpendapat bahwasannya hadits dari Rosul, sedangkan khabar dari selain Rosul. Dari pendapat ini, orang yang meriwayatkan hadits disebut Muhadditsin dan orang yang meriwayatkan sejarah dan yang lain disebut Akhbari.
B.     Kedudukan Hadits Dalam Syariat
Hadits nabi SAW merupakan penafsiran al-qur’an dalam praktek atau penerapan ajaran islam secara faktual dan ideal. Demikian ini mengingat bahwa pribadi rasulullah merupakan perwujudan dari al-qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran islam yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian maka hadits nabi SAW berkedudukn sebagai sumber hukum islam kedua setelah Al-Qur’an. Allah memerinthkan kita untuk mentaati rasul sebagaimana mentaati Allah SWT.
Kedudukan hadits dalam al-quran sedikitnya mempunyai tiga fungsi pokok.
1.      Memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh al-qur’an (sebagai bayan takrir)   
2.      Memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih bersifat mujmal dan bersifat mutlak (bayan tak tafsir). Penjelasan (penafsiran) Rasulullah SAW terhadap ayat-ayat yang demikian dapat berupa :
a.       Menafsirkan kemujmalannya seperti perintah mengerjakan shalat, membayar zakat dan menunaikan haji.
b.      Menakyidkan (memberikan persyaratan) misalnya ketentuan tentang anak-anak dapat memusakai harta orang tuanya dan keluarganya.
c.       Memberi keputusan (bayan takrir) ayat yang masih bersifat umum misalnya tentang keharaman bangkai dan darah.
3.      Menetapkan hukum aturan aturan yang tidak didapati (diterangkan di dalam AL-quran)misalnya dalam masalah perkawinan (nikah)

C.    Sanad dan Perawi
Sanad atau Isnad adalah silsilah (mata rantai) para perawi hadits yang mengantarkan kepada nash hadits. Misalnya seorang ulama hadits meriwayatkan hadits sebagai berikut :
A telah mengabarkan kepada kami, dia berkata : B telah mengabarkan kepada kami, dia berkata : C telah mengabarkan kepada kami, dia berkata : Sahabat fulan telah mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian dan demikian.
Begitulah gambaran sanad para pembaca rahimakumullah, yang merupakan keistimewaan yang Allah berikan untuk ummat ini yang tidak terdapat pada ummat – ummat sebelumnya karena sanad memiliki nilai yang besar bagi Agama Allah ‘azza wa jalla. Oleh karena itu, ummat islam ini dinamakan pula dengan nama Ummatul Isnad.
Pembahasan tentang sanad merupakan tiang pokok dalam pembahasan ilmu hadits yang bertujuan untuk mencapai suatu tujuan yang sangat tinggi dan mulia, yaitu membedakan hadits yang diterima dan yang tertolak.
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata “Dahulu mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Akan tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka bertanya tentang sanad, supaya mereka bisa mengambil hadits Ahlus Sunnah, dan meninggalkan hadits Ahlul Bid’ah”. Oleh karena itu, para ahli hadits memberi perhatian lebih untuk meneliti sanad hadits dan membahasnya, disebabkan karena hal ini memiliki peran besar untuk membersihkan hadits dari pemalsuan dan pendustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah mungkin seseorang bisa sampai kepada isi hadits kecuali menelusuri jalan pembahasan dalam masalah sanad.
Dan sungguh para ahli hadits mencurahkan pengorbanan yang amat keras untuk menelusuri sanad dari awal sampai akhir. Kalau zaman sekarang, lebih mudah. Untuk meneliti apakah sebuah hadits itu shahih atau tidak tinggal dilihat sanadnya dan dicari biografi-biografi para rawi di buku rijalul hadits dan dihukumilah hadits tersebut shahih atau tidak. Kalau zaman dahulu,  untuk meneliti sanad hadits tersebut maka para rawi melakukan perjalanan yang sangat jauh sekedar mengecek apakan rawi fulan yang tinggal di negeri fulan benar meriwayatkan hadits ini. Mereka menempuh perjalanan berbulan-bulan lamanya untuk mengecek keabsahan sebuah hadits. Terkadang, hasil yang dicapai adalah hasil yang mengecewakan, yaitu haditsnya dhaif (lemah).
Perawi hadits adalah seorang yang telah meriwayatkan hadits seperti imam bukhori, muslim, tirmidzi, imam ahmad, ibnu majjah, abu dawud, imam nasa’i dan lain-lain.
Menjadi seorang perawi hadis, tidaklah mudah. Banyak syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya, menguasai dan hafal ribuan hadis, menguasai matan dan sa-nad hadis, menguasai ilmu dirayah dan hwa-yah, ilmu rijalul hadis, dan lain sebagainya.
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhary al-Jufi atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari (194-256 H) dan Abu al-Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy an-Naisabury atau popular dengan sebutan Imam Muslim (204-261 H). Keduanya merupakan dua otoritas tertinggi dalam dunia periwayatan hadis sahih.
Hadis hadis yang diriwayatkan oleh keduanya memberi syarat yang sangat ketat atas matan (isi) ataupun sanad (silsilah periwayatan) hadis. Integritas orang-orang yang menwayatkan hadis (perawi hadis) juga sangat diperhatikan, seperti tidak pernah berdusta. kuat ingatannya. pernah bertemu dengan perawi sebelumnya, dan lain-lain. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Imam Bukhari pernah menolak integritas seorang perawi hadis, hanya karena orang itu pernah berdusta kepada seekor kuda. Ia memanggil kuda dengan berpura-pura memberi makan, padahal di genggaman tangannya tidak ada makanan.
D.    Matan Hadits
Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, matan yaitu: perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.
Artinya: “Dari Muhammad yang diterima dari Abu Salamah yang diterimanya dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Seandainya tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap akan melakukan salat. “ (Al-Hadis).
      Para ahli hadis sangat hati-hati dalam menerima suatu hadis kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadis . Pada masa Abu bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah.
Meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tak perlu meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya. Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Yang diperlukan dalam menerima hadis adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi/keterangan.
E.     Pengertian Hadits Shahih, Hasan, dan Dhaif
a.    Hadits Shahih
Pengertian hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung dan diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah Serta tidak ada cacat atau kekurangan dalam hadits tersebut. Atau dalam istilah lain tidak termasuk hadits yang syadz dan mu’allal.
Secara bahasa (etimologi), kata (sehat) adalah antonim dari kata ﻢﻴﻘﺴﻟﺍ (sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Secara istilah (terminologi), makna hasidts shahih adalah: Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz dan juga tanpa ‘illat.


b.    Hadits Hasan
Secara bahasa (etimologi) Kata Hasan merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn yang bermakna al-Jamâl : kecantikan, keindahan.
Secara Istilah (teriminologi). Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja. Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:
1.      Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama fiqih.” (Ma’âlim as-Sunan:I/11)
2.      Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)
3.  Hadits Dhaif
Kata Dhoif di ambil dari kata dhu’fu atau dha’fu (Lemah) yang merupakan isim sifat dhifa yang berarti lawan dari kata (quwwah)kuat. Secara terminology hadist dhoif yaitu hadist yang tidak memiliki shifat "hasan" dah jauh dari "shahih". Secara spesifik Hadis Dhaif adalah Setiap hadis yang tidak terhimpun padanya semua syarat hadis sahhih dan tidak pula semua syarat hadis Hassan. Ada berbagai macam nama hadits dhaif yaitu :


  1. Hadits Mu’allaq
  2. Hadits Mursal
  3. Hadits Mudallas
  4. Hadits Munqathi
  5. Hadits Mu’dhol
  6. Hadits Maudhu’
  7. Hadits Matruk
  8. Hadits Mungkar
  9. Hadits Mu’allal
  10. Hadits Mudhthorib
  11. Hadits Maqlub
  12. Hadits Munqalib
  13. Hadits Mudraj
  14. Hadits Syadz


F.     Para Imam Hadits
Para imam ahli hadits yang paling masyhur ada 7 yaitu Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam Ibnu Majjah, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i. Selain para imam ahli hadits di atas ada juga beberapa ahli hadits Para Ulama Salaf Ahlul Hadits yang masyur dizamannya antara lain :
  1. Imam Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallam (wafat 220H)
  2. Ibnu Abi Syaibah (159-235 H)
  3. Imam Asy Syaukani (172-250 H)
  4. Imam al-Muzanniy (wafat 264H)
  5. Imam Al Ajurri (190-292H)
  6. Imam Al Barbahari (wafat 329 H)
  7. Abdul Qadir Al Jailani (471-561 H)
  8. Al-Hafidh Al Mundziri 581-656H
  9. Imam Nawawi (631-676H)
  10. Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H)
  11. Ibnu Hajar Al ‘Asqolani (773-852 H)
  12. Imam As Suyuti (849-911 H)
Para Ulama modern yang berjalan di atas As-Sunnah yaitu:
  1. Syaikh Ahmad An-Najmi (1346-1410.H)
  2. Syaikh Abdullah Muhammad IbnHumayd (1329-1402H)
  3. Syaikh Muhammad Aman Al-Jami (1349-1416 H)
  4. Syaikh Muhammad Dhiya`I (1940-1994.M)
  5. Syaikh Abdullah Al Ghudayyan (1345H..H)
  6. Syaikh Ubaid Al-Jabiri (1357H..H)
  7. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin (1349H..H)
  8. Syaikh Salim Bin ‘Ied Al Hilali 1377H/1957M
  9. Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby (1380H..H)
  10. Syaikh Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman (1380.H..H)
  11. Syaikh Abdullah Bin Abdirrahim Al-Bukhari
  12. Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi
G.    Ingkarus Sunnah
Ingkar sunnah terdiri dari dua kata yaitu Ingkar dan Sunnah. Ingkar, Menurut bahasa, artinya “menolak atau mengingkari”, berasal darikata kerja, ankara-yunkiru. Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara definitif Ingkar al-Sunnah dapat ddiartikan sebagai suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari Sunnah untuk dijadikan sebagai sumber san dasar syari’at Islam.
Kata “Ingkar Sunnah” dimaksudkan untuk menunjukkan gerakan atau paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber kedua hukum Islam.
Menurut Imam Syafi’I, Sunnah Nabi saw ada tiga macam:
1.      Sunnah Rasul yang menjelaskan seperti apa yang di nash-kan oleh al-Qur’an.
2.      Sunnah Rasul yang menjelaskan makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Tentang kategori kedua ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.
3.      Sunnah Rasul yang berdiri sendiri yang tidak ada kaitannya dengan al-Qur’an

DAFTAR PUSTAKA

1.      Drs. H. Ahmad Muhammad, dkk. 2004. “Ulumul Hadits”. Bandung : Pustaka Setia
5.      http://bataviase.co.id/detailberita-10523786.html
8.      images.zanikhan.multiply.multiplycontent.com/.../Ingkar%20Sunnah.doc?... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar